Friday, 17 December 2021

Hutang Pada Anak

 

Hutang Kita Banyak Pada Anak-Anak

Tidak jarang, kita memarahi mereka saat kita lelah.

Kita membentak mereka padahal mereka belum benar-benar paham kesalahan yang mereka lakukan.

Kita membuat mereka menangis karena kita ingin lebih dimengerti dan didengarkan

Tetapi,

seburuk apapun kita memperlakukan mereka, se galak apapun kita kepada mereka, se marah apapun kita pernah membentak mereka... 

Mereka akan tetap mendatangi kita dengan senyum kecilnya.

Menghibur kita dengan tawa kecilnya,

Menggenggam tangan kita dengan tangan kecilnya,

Seolah semuanya baik-baik saja, 

seolah tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.

Mereka selalu punya banyak cinta untuk kita, 

meski seringkali kita tak membalas cinta mereka dengan cukup.

Kita bilang kita bekerja keras demi kebahagiaan mereka, 

tetapi kenyataannya merekalah yang justru membahagiakan kita dalam lelah di sisa waktu dan tenaga kita.

Kita merasa bahwa kita bisa menghibur kesedihan mereka atau menghapus air mata dari pipi-pipi kecil mereka,

tetapi,

Sebenarnya kitalah yang selalu mereka bahagiakan. 

Merekalah yang selalu berhasil membuang kesedihan kita, 

melapangkan kepenatan kita, menghapus air mata kita.

Kita berhutang banyak pada anak-anak kita.

Dalam 24 jam, berapa lama waktu yang kita miliki untuk berbicara, mendengarkan, memeluk, mendekap dan bermain dengan mereka?

Dari waktu hidup kita bersama mereka, seberapa keras kita bekerja untuk menghadirkan kebahagiaan sesungguhnya di hari-hari mereka, melukis senyum sejati di wajah mungil mereka?

Tentang anak-anak, 

Sesungguhnya merekalah yang selalu "lebih dewasa" dan "bijaksana" daripada kita. 

Merekalah yang selalu mengajari dan membimbing kita menjadi manusia yang lebih baik setiap harinya.

Seburuk apapun kita sebagai orangtua, mereka selalu siap kapan saja untuk menjadi anak-anak terbaik yang pernah kita punya Kita selalu berhutang kepada anak-anak kita.

Anak-anak yang setiap hari menjadi korban dari betapa buruknya cara kita mengelola emosi.

Anak-anak yang terbakar residu ketidakbecusan kita saat mencoba menjadi manusia dewasa.

Anak-anak yang menanggung konsekuensi dari nasib buruk yang setiap hari kita buat sendiri.

Anak-anak yang barangkali masa depannya terkorbankan gara-gara kita tak bisa merancang masa depan kita sendiri.

Tetapi mereka tetap tersenyum, mereka tetap memberi kita banyak cinta, mereka selalu mencoba membuat kita bahagia.

Maka dekaplah anak-anakmu, tataplah mata mereka dengan kasih sayang & penyesalan, katakan kepada mereka: 

"Maafkan untuk hutang-hutang yang belum terbayarkan"

Maafkan jika semua hutang ini telah membuat Allah tak berkenan. 

Maafkan karena hanya pemaafan dan kebahagiaan kalianlah yang bisa membuat hidup ayah dan ibu lebih baik dari sebelumnya.

Iya, lebih baik dari sebelumnya.

Selamat memeluk anak-anak kita.

Thursday, 9 December 2021

UNGKAPAN JUJUR SEORANG ANAK

Tahun 2005 yang lalu saya harus mondar-mandir ke SD Budi Mulia Bogor. Anak sulung kami yang bernama Dika, duduk di kelas 4 di SD itu. Waktu  itu saya memang harus berurusan dengan wali kelas dan kepala sekolah.

      

Pasalnya menurut observasi wali kelas dan kepala sekolah, Dika yang duduk di kelas unggulan, tempat penggemblengan anak-anak berprestasi itu, waktu itu justru tercatat sebagai anak yang bermasalah. 


Saat saya tanyakan apa masalah Dika, guru dan kepala sekolah justru menanyakan apa yang terjadi di rumah sehingga anak tersebut selalu murung dan menghabiskan sebagian besar waktu belajar di kelas hanya untuk melamun. Prestasinya kian lama kian merosot.


Dengan lemah lembut saya tanyakan kepada Dika: "Apa yang kamu inginkan ?" Dika hanya menggeleng. 


"Kamu ingin ibu bersikap seperti apa ?" tanya saya. "Biasa-biasa saja" jawab Dika singkat. 


Beberapa kali saya berdiskusi dengan wali kelas dan kepala sekolah untuk mencari pemecahannya, namun sudah sekian lama tak ada kemajuan. Akhirnya kamipun sepakat untuk meminta bantuan seorang psikolog.


Suatu pagi, atas seijin kepala sekolah, Dika meninggalkan sekolah untuk menjalani test IQ. Tanpa persiapan apapun, Dika menyelesaikan soal demi soal dalam hitungan menit. 


Beberapa saat kemudian, Psikolog yang tampil bersahaja namun penuh keramahan itu segera memberitahukan hasil testnya.


Angka kecerdasan rata-rata anak saya mencapai 147 (Sangat Cerdas) dimana skor untuk aspek-aspek kemampuan pemahaman ruang, abstraksi, bahasa, ilmu pasti, penalaran, ketelitian dan kecepatan berkisar pada angka 140 - 160. Namun ada satu kejanggalan, yaitu skor untuk kemampuan verbalnya tidak lebih dari 115 (Rata-Rata Cerdas).

      

Perbedaan yang mencolok pada 2 tingkat kecerdasan yang berbeda itulah yang menurut psikolog, perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut. Oleh sebab itu psikolog itu dengan santun menyarankan saya untuk mengantar Dika kembali ke tempat itu seminggu lagi. Menurutnya Dika perlu menjalani test kepribadian.


Suatu sore, saya menyempatkan diri mengantar Dika kembali mengikuti serangkaian test kepribadian. 


Melalui interview dan test tertulis yang dilakukan, setidaknya Psikolog itu telah menarik benang merah yang menurutnya menjadi salah satu atau beberapa faktor penghambat kemampuan verbal Dika. 


Setidaknya saya bisa membaca jeritan hati kecil Dika. Jawaban yang jujur dari hati Dika yang paling dalam itu membuat saya berkaca diri, melihat wajah seorang ibu yang masih jauh dari ideal.


Ketika Psikolog itu menuliskan pertanyaan "Aku ingin ibuku :...."

      

Dika pun menjawab : "membiarkan aku bermain sesuka hatiku, sebentar saja." 


Dengan beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa selama ini saya kurang memberi kesempatan kepada Dika untuk bermain bebas. 


Waktu itu saya berpikir bahwa banyak ragam permainan-permainan edukatif sehingga saya merasa perlu menjadwalkan kapan waktunya menggambar, kapan waktunya bermain puzzle, kapan waktunya bermain basket, kapan waktunya membaca buku cerita, kapan waktunya main game di komputer dan sebagainya. 


Waktu itu saya berpikir bahwa demi kebaikan dan demi masa depannya, Dika perlu menikmati permainan-permainan secara merata di sela-sela waktu luangnya yang  memang tinggal sedikit karena sebagian besar telah dihabiskan untuk sekolah dan mengikuti berbagai kursus di luar sekolah. 


Saya selalu pusing memikirkan jadwal kegiatan Dika yang begitu rumit. Tetapi ternyata permintaan Dika hanya sederhana : diberi kebebasan bermain sesuka hatinya, menikmati masa kanak-kanaknya.


Ketika Psikolog menyodorkan kertas bertuliskan "Aku ingin Ayahku ..."

      

Dika pun menjawab dengan kalimat yang berantakan namun kira-kira artinya "Aku ingin ayahku melakukan apa saja seperti dia menuntutku melakukan sesuatu".

      

Melalui beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa Dika tidak mau diajari atau disuruh, apalagi diperintah untuk melakukan ini dan itu. Ia hanya ingin melihat ayahnya melakukan apa saja setiap hari, seperti apa yang diperintahkan kepada Dika. 


Dika ingin ayahnya bangun pagi-pagi kemudian membereskan tempat tidurnya sendiri, makan dan minum tanpa harus dilayani orang lain, menonton TV secukupnya, merapikan sendiri koran yang habis dibacanya dan tidur tepat waktu.       


Sederhana memang, tetapi hal-hal seperti itu justru sulit dilakukan oleh kebanyakan orang tua.


Ketika Psikolog mengajukan pertanyaan "Aku ingin ibuku tidak ..."

      

Maka Dika menjawab "Menganggapku seperti dirinya." 


Dalam banyak hal saya merasa bahwa pengalaman hidup saya yang suka bekerja keras, disiplin, hemat, gigih untuk mencapai sesuatu yang saya inginkan itu merupakan sikap yang paling baik dan bijaksana. 


Hampir-hampir saya ingin menjadikan Dika persis seperti diri saya. Saya dan banyak orang tua lainnya seringkali ingin menjadikan anak sebagai foto copy diri kita atau bahkan beranggapan bahwa anak adalah orang dewasa dalam bentuk sachet kecil.


Ketika Psikolog memberikan pertanyaan "Aku ingin ayahku tidak : .."

      

Dika pun menjawab "Tidak menyalahkan aku di depan orang lain. Tidak mengatakan bahwa kesalahan-kesalahan kecil yang aku buat adalah dosa"


Tanpa disadari, orang tua sering menuntut anak untuk selalu bersikap dan bertindak benar, hingga hampir-hampir tak memberi tempat kepadanya untuk berbuat kesalahan. 


Bila orang tua menganggap bahwa setiap kesalahan adalah dosa yang harus diganjar dengan hukuman, maka anakpun akan memilih untuk berbohong dan tidak mau mengakui kesalahan yang telah dibuatnya dengan jujur. 


Kesulitan baru akan muncul karena orang tua tidak tahu kesalahan apa yang telah dibuat anak, sehingga tidak tahu tindakan apa yang harus kami lakukan untuk mencegah atau menghentikannya.


Saya menjadi sadar bahwa ada kalanya anak-anak perlu diberi kesempatan untuk berbuat salah, kemudian iapun bisa belajar dari kesalahannya. Konsekuensi dari sikap dan tindakannya yang salah adakalanya bisa menjadi pelajaran berharga supaya di waktu-waktu mendatang tidak membuat kesalahan yang serupa.


Ketika Psikolog itu menuliskan "Aku ingin ibuku berbicara tentang ....." 


Dika pun menjawab "Berbicara tentang hal-hal yang penting saja". 


Saya cukup kaget karena waktu itu saya justru menggunakan kesempatan yang sangat sempit, sekembalinya dari kantor untuk membahas hal-hal yang menurut saya penting, seperti menanyakan pelajaran dan PR yang diberikan gurunya. Namun ternyata hal-hal yang menurut saya penting, bukanlah sesuatu yang penting untuk anak saya. 


Dengan jawaban Dika yang polos dan jujur itu saya diingatkan bahwa kecerdasan tidak lebih penting dari pada hikmat dan pengenalan akan Tuhan. Pengajaran tentang kasih tidak kalah pentingnya dengan ilmu pengetahuan.


Atas pertanyaan "Aku ingin ayahku berbicara tentang .....", 


Dika pun menuliskan "Aku ingin ayahku berbicara tentang kesalahan-kesalahannya. Aku ingin ayahku tidak selalu merasa benar, paling hebat dan tidak pernah berbuat salah. Aku ingin ayahku mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepadaku".


Memang dalam banyak hal, orang tua berbuat benar tetapi sebagai manusia, orang tua tak luput dari kesalahan. 


Keinginan Dika sebenarnya sederhana, yaitu ingin orang tuanya sportif, mau mengakui kesalahnya dan kalau perlu meminta maaf atas kesalahannya, seperti apa yang diajarkan orang tua kepadanya.


Ketika Psikolog menyodorkan tulisan "Aku ingin ibuku setiap hari ....." 


Dika berpikir sejenak, kemudian mencoretkan penanya dengan lancar "Aku ingin ibuku mencium dan memelukku erat-erat seperti ia mencium dan memeluk adikku". 


Memang adakalanya saya berpikir bahwa Dika yang hampir setinggi saya sudah tidak pantas lagi dipeluk-peluk, apalagi dicium-cium. Ternyata saya salah, pelukan hangat dan ciuman sayang seorang ibu tetap dibutuhkan supaya hari-harinya terasa lebih indah. 


Waktu itu saya tidak menyadari bahwa perlakukan orang tua yang tidak sama kepada anak-anaknya seringkali oleh anak-anak diterjemahkan sebagai tindakan yang tidak adil atau pilih kasih.


Secarik kertas yang berisi pertanyaan "Aku ingin ayahku setiap hari...." 


Dika menuliskan sebuah kata tepat di atas titik-titik dengan satu kata, "tersenyum".


Sederhana memang, tetapi seringkali seorang ayah merasa perlu menahan senyumannya demi mempertahankan wibawanya. 


Padahal kenyataannya senyuman tulus seorang ayah sedikitpun tidak akan melunturkan wibawanya, tetapi justru bisa menambah simpati dan energi bagi anak-anak dalam melakukan segala sesuatu seperti yang ia lihat dari ayahnya setiap hari.


Ketika Psikolog memberikan kertas yang bertuliskan "Aku ingin ibuku memanggilku. ..." 


Dika pun menuliskan "Aku ingin ibuku memanggilku dengan nama yang bagus" 


Saya tersentak sekali! Memang sebelum ia lahir kami telah memilih nama yang paling bagus dan penuh arti, yaitu Judika Ekaristi Kurniawan. Namun sayang, tanpa sadar, saya selalu memanggilnya dengan sebutan Nang. Nang dalam Bahasa Jawa diambil dari kata "Lanang" yang berarti laki-laki.


Ketika Psikolog menyodorkan tulisan yang berbunyi "Aku ingin ayahku memanggilku .." 


Dika hanya menuliskan 2 kata saja, yaitu "Nama Asli".


Selama ini suami saya memang memanggil Dika dengan sebutan "Paijo" karena sehari-hari Dika berbicara dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Sunda dengan logat Jawa medok. "Persis Paijo, tukang sayur keliling" kata suami saya.


Atas jawaban-jawaban Dika yang polos dan jujur itu, saya menjadi malu karena selama ini saya bekerja di sebuah lembaga yang membela dan memperjuangkan hak-hak anak. 


Kepada banyak orang saya kampanyekan pentingnya penghormatan hak-hak anak sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak Sedunia. 


Kepada khalayak ramai saya bagikan poster bertuliskan "To Respect Child Rights is an Obligation, not a Choice" sebuah seruan yang mengingatkan bahwa "Menghormati Hak Anak adalah Kewajiban, bukan Pilihan".


Tanpa saya sadari, saya telah melanggar hak anak saya karena telah  memanggilnya dengan panggilan yang tidak hormat dan bermartabat. Dalam diamnya anak, dalam senyum anak yang polos dan dalam tingkah polah anak yang membuat orang tua kadang-kadang bangga dan juga kadang-kadang jengkel, ternyata ada banyak Pesan Yang Tak Terucapkan. 


Seandainya semua ayah mengasihi anak-anaknya, maka tidak ada satupun anak yang kecewa atau marah kepada ayahnya. 


Anak-anak memang harus diajarkan untuk menghormati ayah dan ibunya, tetapi para orang tua tidak boleh membangkitkan amarah di dalam hati anak-anaknya. Para orang tua harus mendidik anaknya di dalam ajaran dan nasehat yang baik.


~ Lesminingtyas

Friday, 3 December 2021

Kopi dan Gula

 


Filosofi Kopi dan Gula


Jika kopi terlalu pahit
Siapa yang salah?

Gula lah yang di salahkan karena terlalu sedikit hingga "rasa" kopi pahit

Kasus 2
Jika kopi terlalu manis
Siapa yang disalahkan?

Gula lagi karena terlalu banyak hingga "Rasa" kopi manis

Kasus 3
Jika takaran kopi & gula balance
Siapa yang di puji...?

Tentu semua akan berkata...
Kopinya mantaaap

Kemana gula yang mempunyai andil
Membuat "rasa" kopi menjadi mantaaap

Filosofi Kopi dan Gula

Mari Ikhlas seperti Gula yang larut tak terlihat tapi sangat bermakna.

Gula PASIR memberi RASA MANIS pada KOPI, tapi orang MENYEBUTnya KOPI MANIS... bukan KOPI GULA...

Gula PASIR memberi RASA MANIS pada TEH, tapi orang MENYEBUTnya TEH MANIS... bukan TEH GULA...

ORANG menyebut ROTI MANIS... bukan ROTI GULA...

ORANG menyebut SYRUP Pandan, Syrup APEL, Syrup JAMBU....
padahal BAHAN DASARnya GULA....

Tapi GULA tetap IKHLAS LARUT dalam memberi RASA MANIS...

Filosofi Kopi dan Gula

akan tetapi apabila berhubungan dgn Penyakit, barulah GULA disebut..PENYAKIT GULA

BEGITUlah HIDUP.... Kadang KEBAIKAN yang Kita TANAM tak pernah diSEBUT Orang....
Tapi kesalahan akan dibesar-besarkan...

IKHLASlah seperti GULA...
LARUTlah seperti GULA...

Tetap SEMANGAT memberi KEBAIKAN...!!!!
Tetap SEMANGAT menyebar KEBAIKAN..!!!

Karena KEBAIKAN tidak UNTUK DISEBUT...

tapi untuk DIRASAkan...

Mari minum kopi

Filosofi Kopi dan Gula berumber dari grup WA.